12 Jul 2021

Waktu

Juli 12, 2021

 

 

Saya tidak tahu harus mulai dari mana, entah dari mana atau kapan, atau  dimana, dan semestinya tidak untuk diperdebatkan, kegelisahan dan ketika tidurmu tidak nyenyak pada suatu malam. 


Bocah sekitar lima tahun menangis, memeluk seorang perempuan dengan amat erat.


Tukang becak, atau seseorang pada malam itu begitu pulas di atas kursi penumpang pada becak, mendengkur dengan muka separuh tertutup peci, perut besarnya itu, saya yakin dia telah makan lebih dua kali, atau sebuah penyakit menggerogoti usus-ususnya, atau tidak bahwa dia telah menerima nasi kotak dari sebuah mobil bakti sosial. 


“Bu, bawang merah sekilo berapa?”


Seorang mahasiswa bertanya pada sebuah acara seminar dengan tema kebangsaan, mengacung tangannya dengan mata yang berlagak seperti seorang pemuda menatap sirine polisi pada malam hari, dagunya manggut-manggut bahkan tak ada permen karet yang menempel pada ujung giginya.


"Anak-anak, dibuka bukunya halaman dua satu, tentang sistem reproduksi hewan katak."


Malam ini sungguh gelap gulita, tiada cayaha ketika kehadiranmu yang sudah lama kutunggu tak kunjung sampai, menangislah aku.


Dua puluh tujuh. Angka yang keluar pada malam pergantian tahun, di bawah kebun sengon yang rindang, menang dua puluh juta dua ratus dari lima orang yang sama bersila, empat di antara mereka memegangi kepala entah serangga apa atau memang begitu pusingnya menanggung hutang esok, lusa atau sepulang dari sana bergelantungan di bawah blandar dengan tambang mencekik lehernya, empat semua melayangkan nyawa dengan begitu mudah. 


Sekitar lima belas ekor sapi di depan masjid agung di dekat alun-alun. Dan entah mengapa mereka ada di sana di pagi ini yang tampak matahari begitu bersahabat menyinari. 


Anda, seseorang yang mampu membaca diksi ini, yang hidup pada generasi saya, yang sedang merasai berbagai macam hal, termasuk terombang-ambing oleh kehendak-kehendak, memaksa diri untuk menyetujui, mencintai, menyenangkan, dan banyak. Anda kah? Seseorang yang paling tahu mengenai hidup itu apa?


"Besok pagi harus berangkat ke Brazil, sudah kupersiapkan tiket untuk Bunda, sekalian biar tidak jenuh di rumah terus."


Bila saya ceritakan dari awal mungkin tidak seorangpun akan setuju, bahwa sayalah manusia yang paling sengsara. 


“KAMU TAK PANDAI BERYUKUR”. 

“AH CUMA GITU AJA NGELUH, LIHAT YANG DI BAWAHMU JANGAN DI ATASMU”

"BACOT BANCI"

“PERJUANGANMU BELUM SEBERAPA DIBANDING DENGAN PERJUANGAKU” 

“PENGECUT”

“PECUNDANG”

"TAI"

10 Jul 2021

Kerusuhan dan Kisah Seorang Karyawan

Juli 10, 2021


Satu mobil Korps Brigade dan dua truk Brimob dengan warna yang sama terparkir di halaman gedung DPR. Jelas mereka berangkat lebih pagi daripada kabar berkumpulnya para demonstran di setengah siang. 

Tengah malam di lima oktober lalu manjadi masalah yang tampaknya mendapati banyak tanggapan serius, terlebih di kalangan mahasiswa. Tak halang tanggung, seolah tidak peduli Covid19, semangatnya sudah teramat berkobar, membelah kerumunan keraguan yang menghadang.

"Anjing! Sudah tak bisa dimaafkan, ini keterlaluan. Bangsat!!!" ungkap Roni di puncak malam perkumpulan pada enam oktober.

"Kita ini sudah teramat terpuruk. Muslihat apa lagi?" timpal Ihsan.

"Turun sekarang, atau pulang dengan penderitaan?" teriak seorang pimpinan,"hidup mahasiswa!!!" diulangnya sebanyak tiga kali, dan serentak selesai itu terasa sunyi. Rapat berakhir pada dini hari, dengan macam kantuk raut wajah mereka yang kusut.

Sekitar pukul sepuluh siang, rombongan Roni tiba di depan kantor DPR. Tampak memenuhi jalanan, dan mengawali siang itu dengan menyanyikan lagu buruh tani bersama-sama. Poster-poster mereka junjung tinggi-tinggi, beberapa bendera organisasi juga berkibar menghiasi, terik matari ganas menyinari. Pun tak memudarkan tekad, menyusul dua peleton dari dua kampus yang berbeda, dan bertambah lagi satu peleton sepuluh menit setelah itu.

Mereka berkumpul sesuai dengan warna jas yang mereka kenakan, dan beberapa tak memakainya, menaruhnya di atas kepala, mengikatkannya pada pinggang, menggantungnya di pundak. Terik matahari membuat tubuhnya mulai mengeluarkan uap, keringat, dan kumuh. Beberapa tampak berteriak histeris, memaki, melempar botol, menangis, dan duduk-duduk di penghujung jalan menontoni kawanannya yang sibuk menangis, berorasi, histeris, dan melempar botol. Mereka akan sama berteriak pada saat-saat tertentu, ketika pimpinan korlap membutuhkan nyaring suaranya. Pun bibir mereka yang tampak kering, mungkin saja akan seperti sedang berzikir pada sepertiga malam yang hikmat.

Nina sore itu masih terlelap, dari tidur siang yang teramat melelahkan. Satu hari sebelum itu sebenarnya ia masih berada di kos, dan pulang pada sore harinya setelah atasannya menyarankan untuk libur, padahal baru saja ia datang di tanggal dua dari desa. Setibanya ia di desa di tanggal tujuh, ia tidak mendapati kecurigaan dari raut muka orangtuanya, bahkan raut muka yang biasa menampakkan kerinduan tidak sedikitpun ia dapati dari ibunya. Dan ayahnya yang mengidap penyakit stroke, membikin rumahnya tampak kumuh, ditinggal ibunya yang sibuk mengurus ayahnya. 

Di hari ke delapan, dan mungkin di hari itu halaman kos-kosanya ramai dipenuhi para demonstran dari berbagai kampus. Sejak bangunnya dari tidur ia tidak lagi sibuk mempersiapkan diri, mengenakan seragam, merias mukanya, dan memakai wangi-wangian. Dengan muka yang masih kusut, berminyak, dan hanya mengenakan dastar, ia mulai mencuci bajunya, baju ayahnya, juga seprai yang bercampur dengan kotoran ayahnya. Piring-piring dan perabot lain yang teramat kotor sudah tak tersentuh di atas meja selama berhari-hari, atau terakhir kali minggu lalu ia membersihkan semuanya. Bahkan tak sempat terucap satu kata pun, orang-orang di rumahnya sudah terbiasa dengan kebisuan.

Pengayuh becak di gang pasar hari itu menggerutu, berkumpul seperti kelompok moge yang berencana menyusun alur untuk sebuah perjalanan bersama. Namun sebenarnya tidak, hari itu mereka menjadi pemikir, dengan teorinya sendiri-sendiri mulai menyebarkan doktrin kepada kawanannya, meski sekadar sebuah kabar kalang kabut yang mereka dapati dari merondanya semalam. Bahkan bisa jadi mereka akan sangat sensitif jika tak sepemikiran dengan aksi mahasiswa yang sedang terjadi. Mereka akan memasang muka menakutkan, dengan kumis yang memelintir mereka meninggikan nada ketika berbicara, serta menekuk kedua lengannya pada pinggang, tampak seperti Pak Raden dengan jarit dan blangkonnya. Dan seolah ingin berorasi, kata-katanya hanya mampu membangun emosi. Beruntung jumlah mahasiswa lebih banyak, atau jika sebenarnya mereka adalah orang tua dari seorang mahasiswa, mereka akan lebih mengawasi barisan-barisan itu, sekadar memastikan bahwa anak mereka sudah aman di rumah.

             Anak-anak merekapun mungkin sama, meski tak turut turun di jalan. Di kamar mereka berdiam, tak bersuara apa, dan ibunya tak sedikitpun membentak di pagi itu, sekadar menyuruhnya mencuci piring, atau pakaiannya yang teramat apak. Mereka sama-sama menggerutu, di sebuah grup whatsapp, atau mungkin saling memainkan jempol di beranda akun media sosial mereka. Dan apa yang terjadi di hari itu, menjadi kesekian tema yang tak kunjung usai dibahas. 

Dua puluh lebih dua satu malam di delapan oktober mereka belum kunjung membubarkan diri, bahkan semakin panas ketika beberapa tempat mulai berkobaran api-api. Keramaian tak pernah sedikitpun terhenti, hanya ketika azan mulai dikumandangkan, teriak-teriakan itu berubah menjadi gumaman. Beberapa tampak menuju sebuah masjid, dan yang tidak ingin meninggalkan tempat mengambil air wudhu di beberapa wastafel di pinggiran taman. Tempat-tempat cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun itu dibuat untuk sekadar fasilitas protokol kesahatan, sebab aktivitas angka positif virus corona tak  kunjung menurun, bahkan beberapa kali meningkat perharinya. 

Beberapa di antara mereka berjamaah di tengah kerumunan, dengan jas yang mereka jadikan sebagai sajadah, menghadap kiblat dengan teramat hikmat. Beberapa yang lain menontoninya sambil menyalakan kamera, sekitar satu pekan ke depan mungkin akan memenuhi beranda sosial media, atau bahkan menjadi trending setelah beberapa jam dari pengunggahannya. Atau yang sebenarnya terjadi, mungkin tak sedikitpun mendapatkan penonton, sebab tak begitu menarik tanpa sebuah koreografi. Orang-orang sekarang hanya peduli dengan kegoblokan yang dibuat oleh seorang pembuat konten, meski sebenarnya hanyalah kepalsuan demi menarik perhatian. 

Sejak kedatangannya di sore hari, sekitar sepuluh truk bertuliskan ‘Polisi’ menurunkan pasukan dan mengamankan lokasi, berbaris membentuk sebuah benteng, dan mereka sama-sama berdiri dengan sikap siap. Beberapa mobil ambulan juga berdatangan, berjubelan dengan para demonstran. Tak ada yang mengira bahwa kejadian itu akan berlanjut hingga malam, bahkan beberapa mobil damkar berdatangan memburu kobaran api yang kian mengerikan. 

Tak disangka, bahwa gerombolan itu tak hanya datang dari mahasiswa, beberapa bocah berseragam pramuka juga ada di sana, bersama banyak kawannya yang berseragam tak sama, abu-abu putih atau sebuah seragam khas anak sekolah menengah atas. Pun beberapa pekerja tampak serius pada gerombolannya, mereka datang di sore dan mungkin mereka sengaja tak pulang dari sebuah pekerjaan yang melelahkan.

“Nina… belikan bubur untuk bapak di warung ijo selatan perempatan pasar,” pinta ibunya, setelah seharian tak terdengar sedikitpun suara, selain samar-samar suara jalan raya, dan rintihan ayahnya. 

“Baik, Bu,” balas Nina sambil beranjak dari ranjangnya.

Jalanan desa sore itu tampak sepi, orang-orang berlalu-lalang tanpa sedikitpun ucapan, sapaan, atau sekadar obrolan dengan gelak tawa. Dan hanya bising suara motorlah yang bersuara, seolah seperti siulan burung-burung di pagi hari, atau jangkrik berderik pada malam hari. 

Dan kobaran api sudah menjalar di mana-mana, bunyi sirine dari mobil damkar pun membikin bising, bercampur dengan teriakan-teriakan anarkis dari para demonstran.  Semburan gas air mata tak habis-habisnya menyerang kerumunan, mereka berhamburan, menutup mata dengan lengan, berlindung, dan kalang kabut berlarian.  Demikian memicu amarah mereka, berbalik membalas dengan serangan, lemparan botol, batu, dan beberapa dari jenis botol dan batu tiada henti melayang, menyerang barisan berseragam yang terus berusaha bertahan.

“Mengenang sejarah sembilan delapan,” seorang tua dengan kemeja putih dan celana hitam menyahut Nina. 

“Iya, Mbah. Membaca pelajaran sejarah, merdekanya terasa sampai ke hulu ” balasnya. 

"Karena semua orang tak sama, Nduk. Ibumu paling suka tidak pakai kerupuk, atau ayamnya yang sedikit. Dan bapakmu suka semuanya,” timpal seorang perempuan penjual bubur. 

Nina kembali pulang membawa sebungkus bubur dengan kantong plastik transparan di pegangnya menggantung. Setibanya ia bertemu ibunya, dan kembali ke kamar, sekadar mengecek pemberitahuan di gadgetnya, duduk di atas rajang menatapi beranda media sosialnya, dan hingga tak terasa tubuhnya merebah. Muncul sebuah pemberitahuan dari perusahaannya, bahwa ia harus kembali di tanggal sepuluh, sebelum akhirnya terlelap merasai peluh. 

Hampir seribu orang ditangkap pada peristiwa delapan oktober itu. Mereka disinyalir sebagai dalan pemicu kerusuhan. Tak hanya dari kalangan mahasiswa, kelompok organisasi masyarakat, pelajar, buruh, dan lainnya yang tidak begitu paham soal apa yang diributkan, atau mungkin yang sebenarnya mereka ialah golongan orang-orang yang sedang diperjuangkan. 

Sekitar tengah malam, dan mereka tampak kelelahan, pun jalanan menjadi sepi. Tinggal beberapa bekas kebakaran yang belum sempat dirapikan, sampah-sampah berceceran, dan semua orang di malam itu mulai beristirahat dengan tenang. 

Seorang tukang becak menikmati tidurnya malam itu, di bawah pohon beringin, di atas becaknya dan berselimut sarung yang menutup hampir seluruh kepalanya. Seorang tampak tergesa-gesa, dengan karung goni tiga kali lebih besar dari tubuhnya, berjalan membungkuk. Gesekan sandal jepitnya dengan aspal tampak berisik, membangunkan tukang becak yang sebelumnya tertidur pulas. Ia terbangun dan bergegas dengan tubuh yang tidak seimbang. Sejenak berhenti mengambil sesuatu dari dalam bagasi becaknya, sebuah botol minum yang menyisakan sedikit air sedikit membuatnya tampak lebih menyala.

Setelah subuh Nina terbangun, mencuci muka dan mengurus keperluan rumahnya. Piring-piring, pakaian-pakaian, dan beberapa tempat yang kumuh dengan banyak kali debu. Sebenarnya ia tak kuasa meninggalkan ibunya, yang tidak pernah hengkang di samping tempat tidur ayahnya. Namun, ia menatap tas miliknya yang menggantung di cantolan baju, meraihnya dan membukanya lebar-lebar di atas ranjang. Mempersiapkan segala sesuatunya yang harus dibawa esok, kembali ke kota. Dan mungkin saja tidak, ketika ia dapati jalanan kota ramai dengan orang-orang yang berdikari, atau mungkin ditunggangi?

21 Mar 2021

23 Des 2020

Pulang dan Memaklumi Kekalahan.

Desember 23, 2020



Sebuah sore dengan laju kendaraan bermotor yang tiada henti berlalu-lalang. Sebuah seloki berisi beras kencur kudiamkan menganga, di depan ujung sepatuku yang tak terikat sebelah. Sambil mengingat-ingat jumlah kerupuk yang telah bergelantungan di toko-toko kelontong, sebatang rokok kusulut untuk sekadar membakar rasa sepat dari beras kencur yang menempel pada pangkal lidah.

 

"Yang kemarin masih, Mas," ungkap seorang perempuan pemilik toko kelontong sambil jarinya menunjuk ke arah cantolan kerupuk.

 

Aku ingat betul itu bukan kerupuk buatan istriku, yang kubawa sekitar dua hari lalu, pun aku tidak sedikitpun berkeinginan sekadar bertanya darimana asalnya. Seorang pasti dengan memaksa menaruh kerupuk itu di sana, memenuhi cantolan paku di gawang pintu. Meski sebenarnya aku tidak pernah sekalipun menaikkan harga, dan yang aku tahu selama ini kerupuk milikku yang paling murah. Bahkan sekitar sepuluh toko langganan juga kutemui dengan jawaban yang sama, dengan cantolan kerupuk yang sama pula.

 

Nyaring suara knalpot vespa melaju pelan di depanku, dan berhenti sekitar dua langkah di sebelah kiriku. Seorang lelaki gondrong dengan kaus polos berwarna hitam dan sedikit kusam, pula kerahnya tampak bolong-bolong sedang melepaskan helmnya, menaruhnya pada kaca spion setelah beberapa kali menatapnya, mungkin sekadar merapikan alis. Hampir aku berprasangka pria ini akan sangat bau sekali, namun ia tampak lebih segar dengan ujung jidat yang basah, seperti telah datang dari sebuah peribadatan. Pun tetap saja bajunya yang apak tak begitu menyenangkan hidungku.

 

Mungkin saja seorang perempuan menemuinya di hari itu, ia tampak bahagia memesan segelas STMJ dari angkringan pinggiran trotoar di sebelah kananku. Ia juga tampak berbaik hati, menggelar tikar plastik di sebelah kananku, dan menawari aku yang sejak awal duduk di lekukan tembok pagar milik seorang konglomerat, untuk duduk di sebelahnya.

 

"Monggo, Mas," ungkapnya sambil menepuk permukaan plastik itu dua kali.

 

Aku menyahuntnya dengan senyuman, dan sedikit anggukan lalu bergegas aku melepas sepatu. Setelah selesai melucuti kaus kaki, sambil memegang seloki aku duduk bersila di sebelahnya. Sesekali kupandang lagi ia, dengan senyum yang tidak berubah sejak awal, meringis menampakkan lobang di sebelah gigi siungnya. Ia juga menyulut sebatang rokok yang dibuatnya mengerucut, seperti terompet anak kecil ketika agustusan. Dan entah jenis tembakau darimana yang ia gunakan, bau asapnya yang mengebul begitu sengak, atau sebenarnya aku sedang mencium aroma tubuhnya.

 

"Darimana, Mas?" tanyaku pelan.

 

Ia tidak menyahut dan tetap meringis. Beberapa bentar kemudian, seorang perempuan tua pemilik angkringan membawakan kepadanya segelas STMJ. Lalu dengan cekatan ia meraih gelas itu, dan langsung menyeruputnya. Pun dengan segera aku menutup mulut, menahan tawa melihat tingkahnya dengan gopoh menyemburkan air butek dari mulutnya. Benar saja, air yang mendidih itu membakar lidahnya yang teramat kering, dengan muka yang berubah tampak kesal, ia beberapa kali mengusap-usap lidahnya dengan kausnya yang apak itu. Pun nama-nama hewan, dan nama-nama tak jelas lainnya ia sebutkan berkali-kali. Hampir seluruh pembeli di angkringan itu melihatnya, menatapnya dan menahan tawa. Sebagian lagi tersenyum dengan mata yang tampak berkaca-kaca, meski tiada yang sampai terbahak. Ia beralih memandangku, memberikan sebentar senyum dengan kedua tangannya yang masih tetap memegang kausnya yang apak itu, lalu berbalik lagi dan mengusap lidahnya hingga beberapa kali. Sebelum akhirnya kembali pada senyumnya, memandangi laju motor di jalanan di depannya, di depan orang-orang di angkringan pinggiran trotoar.

 

“Sampean dulu pernah belajar menjahit, Dek?” ungkapku sambil tetap melanjutkan makan di pagi itu, “di facebook tadi mlam ada yang jual mesinnya, seminggu lagi BLTnya cair to?”

 

“Hoalah, Mas. Aku bisa pinjam mbakku masalah itu, tapi tenagaku gak cukup kuat untuk membuat kerupuk sambil menjahit,” balasnya dengan tangan yang memegang segelas air putih, lalu gelas itu disodorkannya kepadaku, “sabar dulu, Mas. Sedikit-sedikit ditirakati.”

 

“Mbakmu lagi, hutang-hutang yang kemarin belum dibayar, mau nambah lagi?”

 

“Sampean beberapa kali tak suruh ikut kerja di Embak, gak pernah mau!”


“Wes… pulango sama mbakmu sana!!!” Pagi itu aku bergegas meninggalkan istriku yang tampak berkaca-kaca.

 

Sebuah mini bus berwarna putih tampak tergesa-gesa, dengan sirine yang menyala-nyala menerobos membelah kendaraan di depannya. Seorang lelaki berompi yang sebelumnya duduk di depan angkringan bergegas menuju motornya, tampak sibuk menyalakan kamera pada helmnya, dan satu buah Action Kamera yang menempel pada setang motornya. Beberapa bentar ia menarik gas motornya begitu kencang, sempat tak seimbang dan hampir berbelok arah. Satu mobil angkutan nyaris ditubruknya, sesak penumpang di dalamnya serentak berteriak, dan suara perempuan-perempuan itu terdengar amat nyaring.

 

“Darimana, Mas? Woi…!” suara lelaki gondrong itu menggusarkan pandanganku yang masih fokus dengan tingkah para penumpang angkot.


“Oh, iya nganterin dagangan.”


“Sales rokok, Mas?” timpalnya dengan nada meninggi. Memang sebuah motor box rokok sedang terparkir di sebelah jalan itu, dan motor dengan kerupuk milikku terparkir di belakangnya.


“Bukan, cuma kerupuk.”


“Kerupuk kok cuma, ya Alhamdulillah to…,” balasnya. Kali ini senyumnya melebar, lubang di giginya itu tampak lebih jelas, dan sungguh sengak asap rokoknya membuatku ingin menjauh. Namun kenyataan bahwa ia tampak taat, membuatku sedikit memaksa tetap singgah.

 

Aku ingat betul bagaimana lima bulan lalu, Managerku memperlakukanku dengan sangat baik, memberiku pesangon sesuai dengan standar perusahaan. Sebelum pada akhirnya perusahaan selanjutnya membikin trauma yang teramat menyakitkan. Menolak pekerja sepertiku sebenarnya sebuah kerugian, sebab aku hampir tidak pernah menganggur sejak lulus SMA, hanya saja tidak pernah patuh kontrak. Dan aku harus menerima kenyataan bahwa pendidikanku tak cukup menanggung usiaku yang sudah berkepala tiga.

 

“Biasanya anak-anak lama memilih untuk jadi kuli bangunan, atau mereka membuat usaha dari hasil nabungnya. Silahkan, kami tidak menerima Anda bergabung diperusahaan kami,” ungkap HRD berkacamata dengan sedikit buncit pada perutnya itu.

 

Lima bulan terkahir yang teramat sulit, aku tidak pernah berpikir untuk menabung hasil kerjaku, dan kini ijazah yang tidak berguna itu harus benar-benar kusimpan, dan tidak untuk sekalipun dikeluarkan atau sekadar di fotokopi. Beruntung istriku tidak membakarnya, mungkin beberapa tahun lagi akan termakan oleh rayap, hingga tak kuasa istriku segera menyingkirkannya.

 

Kusulut sebatang rokok terakhir dari bungkusnya, meremat-remat bungkusnya dan melemparkannya pada tumpukan sampah di bawah pohon di pinggir jalan. Seorang pemuda dengan motor dua tak menggeber-geber dari arah kiri jalan. Beberapa bentar satu pasukan berseragam putih abu-abu, sebagian lagi berkaus oblong dengan berbagai macam motor di belakangnya menguasai jalanan. Tampak di tangan mereka sama-sama mengepal, beberapa yang lain menggenggam balok kayu, juga menyimpan satu kresek batu pada celah di kedua kakinya. Sorak-sorai tampak begitu bersemangat, menyatu dengan geberan kenalpot yang membikin suara mereka tidak jelas terdengar. Orang-orang di angkringan tampak terkejut, seorang berseragam dengan banyak merek rokok tampak cemas berdiri bersiap-siap untuk menyelamatkan diri, atau lebih benar menyelamatkan pekerjaanya yang terparkir di pinggir jalan. Seorang dengan badan lebih besar turut berdiri dengan kedua tangan yang sama-sama menekuk ke pinggang, matanya melotot dan sebatang rokok masih terjepit pada belah bibirnya.

 

Keramaian anak-anak sekolah itu berakhir setelah bara rokokku sudah mencapai setengah. Lelaki gondrong disebelahku pun tak menggubris, dan masih pada senyumnya, seorang sales rokok sudah berlalu dengan motornya, dan seorang berbadan besar kembali pada duduknya. Aku bergegas mengenakan sepatuku kembali, sudah sekitar satu setengah jam di angkringan dan kini pukul setengah dua, beruntung saja ada masjid dekat dari sini. Selain itu, harus kuantar krupuk-krupuk itu sebelum melempem di tengah jalan.

 

Dua orang dengan jas biru dongker naik ke atas pagar, dengan pengeras suara berteriak-teriak memaki-maki orang-orang yang berada di dalam pagar. Ratusan orang dibelakangnya pun sama, berjas dengan warna berbeda-beda membawa spanduk bertuliskan tentang keadilan.  Berpuluh polisi dengan seragam lengkap, dan tameng huru hara berjajar rapat menutup gerbang masuk ke sebuah gedung. Dua mobil damkar terparkir di halaman gedung, sementara beberapa orang bersiap di sekelilingnya menunggu perintah. Semakin keras teriakan-teriakan itu, dari arah kiri dan kanan halaman gedung. Kerumunan yang berjumlah ratusan memblokade jalanan, dan orang-orang menyaksikannya sebagai sebuah pertunjukan. Tampak seorang menaruh kepalanya yang masih mengenakan helm di atas spidometer motornya, seorang ibu dan anaknya kebingungan mencari celah putar balik di jalanan yang satu arah, sebuah angkot beserta banyak penumpangnya sama-sama melongo, dan berlalu-lalang pedagang asongan mengusung air minum di pundaknya.

 

Kutemui istriku tampak murung di depan televisi, menyaksikan sinetron yang tanyang pada jam empat sore di salah satu saluran TV swasta. Ia tidak pernah mau ketinggalan setiap pergantian episodenya, dan selalu menceritakannya berulang-ulang kepadaku sebelum tidur. Seperti seorang pendongeng, istriku adalah pencerita yang baik.

 

“Dek, dagangannya masih utuh separo,” ungkapku mengalihkan fokusnya.


“Enggeh, Mas. Tidak masalah, bagi-bagi ke tetangga saja daripada mubazir,” balasnya dengan lembut.

 

Dua motor terakhir yang dikendarai oleh anak-anak dengan seragam sekolah itu, tidak menggeber-geber dan tampak lebih sopan. Tepat di depanku ia menatap kearahku, lalu bergegas menarik gasnya, menyusul kawanannya yang jauh di depan. Beberapa saat setelah itu mereka kembali, satu-persatu mematikan mesinnya, menuntunnya dengan berjalan ke arahku. Sungguh, aku begitu terkejut melihat tingkah mereka. Seperti seorang murit yang tak pernah bikin masalah, mereka tampak lebih sopan dan setelah dengan bergantian mereka menyalami lelaki gondrong itu. Pun aku semakin dibuatnya tercengang, ketika tangan-tangan itu turut menyalami, dan mencium tanganku.

 

Aku menyadari, bahwa aku telah banyak kalah dan sejarah mencatatnya dengan amat jujur. Sebenarnya tidak melulu harus percaya dengan cerita, dan pengalaman telah menjadi guru yang bahkan sudah barang tentu kuabaikan. Bukan salah siapapun, dan istriku, anak-anak, dan orang-orang itu tak harusnya menjadi korban dari kekalahan-kekalahan yang tidak pernah mereka kehendaki.

16 Des 2020

Perkelahian Dua Ekor Monyet

Desember 16, 2020




"Kau itu Kucing!" 


"Bukan! Kau yang Anjing! Bangsat!" Cerca si Tang, ludahnya tak kuasa tertahan, muncrat kemana-mana. 

Diketahui sebelumnya mereka telah bersahabat sangat lama, dan terakhir kali masih berboncengan sekitar tiga hari yang lalu, sebelum tangan mereka sama-sama mengepal di depan warung kopi Dek Ni, yang sebenarnya para pelanggannya tak sedang benar menikmati kopi. 

Suasana Kota Sancho masih memanas, pasalnya pendukung pasangan calon Walikota nomor urut satu, sembilan puluh persen berasal dari warga yang tinggal  di pusat kota, sisanya yang berada di pesisir memilih lawannya. Bukan tidak mungkin, pusat kota hanya sebagian kecil dari seluruh bagian wilayah kota Sancho, dan pasangan nomor urut satu hanya mendapat suara tiga puluh hingga tiga satu persen. Lawannya begitu mendominasi dengan angka lebih dari enam puluh lima persen.  

"Pukul aja mukanya. Kepalanmu lebih besar dan mukanya hanya telur busuk yang menyengat," ungkap seorang sopir truk yang biasa singgah sebentar di warung Dek Ni. 

"Bukannya kita sering bawa tomat, Pak," sergah kernetnya. 

"Diam kau! Sebelum ini aku bawa sering bawa telur, dan cabai," jelas supir itu. 

Orang-orang di pusat kota Sancho mulai membuat kerumunan. Mereka serentak bersorak-sorai mendeklarasikan kemenangan untuk calon pilihannya. Demikian sebenarnya mereka tau, bahwa suara yang didapat calon pilihan mereka hanya tiga puluh persen. Namun seolah tak peduli dengan angka, kecintaan mereka membuat angka-angka itu semu, hanya sebatas angka yang tidak pernah digunakan untuk menghitung dosa maupun pahala. Mereka beramai-ramai menyanyikan lagu-lagu nasionalisme, menggambar bendera di pipi, dan saling menggelar poster pasangan calon pilihan mereka. 

Sebuah hotel di dekat perbatasan tampak mobil-mobil terparkir memanjang. Di pinggir jalan depan hotel itu, sepanjang lima ratus meter hampir dipenuhi berbagai jenis mobil. Tampak mobil-mobil itu begitu mewah, dan tiada satupun mobil berkarat keluaran tahun sembilan puluhan berada di sana, atau mungkin hanya sekadar lewat dan penumpangnya terheran-heran dengan mobil-mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan itu, sambil sesekali mulutnya komat-kamit meminta sesuatu kepada Tuhannya.

Sebuah meja lebih dari sepuluh meter di sebuah ruang di dalam hotel itu penuh dengan hidangan makanan. Dikerumuni orang-orang berdasi dengan jas kesukaan masing-masing, sebagian lain hanya mengenakan sarung, dengan baju putih dan juga songkok hitam khas penghuni kota Sancho. Mereka bercengkrama seperti kerumunan ayam di sebuah kandang, ayam yang tidak merasa lapar dan bahkan membiarkan bekatul kasar dengan harga lebih murah yang tersedia di nampan tempat makan mereka. Mereka lebih suka bercengkrama, daripada memakan bekatul itu yang tentunya tinggi kalori. Demikian mereka sadar, bahwa usia mereka akan semakin singkat jika tubuh mereka melebihi seekor angsa betina. Sementara untuk menjadi seekor pajantan tangguh, mereka butuh usia lebih dari dua kali lipat, dari usia ayam potong biasanya. 

"Tang, kenapa kau tak ikut saja denganku kemarin. Boleh jadi sekarang kita tak meributkan hal ini," ungkap Si Dak, sahabat Tang yang sebelumnya telah terkena ludah. 

"Kau memilih karena seratus ribu, sementara kau tak mengenal sedikitpun mereka. Sama saja kau telah menghianati rakyat pesisir," balas Tang. 

"Lalu, apalagi? Seratus ribu juga tidak cukup untuk kau menyewa sebuah kamar, dan Dek Ni takkan menyodorkan payudaranya untukmu sampai kau benar-benar punya lebih dari sepuluh lembar." 

"Kau memang bangsat!" 

"Kau lebih bangsat!"

Pukulan demi pukulan mendarat di muka masing-masing. 

Pesta di pusat kota usai sekitar sore. Mereka beberapa sudah membubarkan diri sejak terik matari menyengat. Sebagian lagi telah bersantai ria di warung-warung hijau. 

Orang-orang di hotel perbatasan masih betah berada di sana. Entah apa yang mereka bicarakan, kekalahan atau kemenangan. Dan mereka adalah orang-orang dari anggota calon walikota Sancho nomor urut satu. 

Sementara lawan mereka tak melakukan apa-apa. Tak memiliki masa, pendukung, dan kerumunan untuk mengadakan acara pertemuan di hotel perbatasan. Sekadar menjadi pilihan rakyat pesisir pun mereka tak pernah memberikan apa-apa, seratus ribu pun tidak. Dan mereka adalah kotak kosong. 

Lebam-lebam muka Tang dan Dak yang sedang tersingkuh di depan warung Dek Ni. Seorang sopir menghampirinya dan memberinya kacang goreng. Lalu ia berkata: monyet tak pernah tau urusan politik, tapi mereka paling sering menjadi korban.